BAB I
PENDAHULUAN
Cedera kranioserebral sering di sebut cedera kepala
merupakan suatu kedaruratan neurologik yang perlu mendapat penatalaksanaan yang
cepat, tepat dan cermat, karena dapat mengakibatkan kematian, kecacatan atau
menyebabkan seseorang tidak dapat bekerja untuk waktu yang cukup lama
Cedera kranioserebral merupakan masalah
kedaruratan neurologi yang sering ditemukan dan umumnya terjadi pada pria atau
wanita, dengan penyebab utama kecelakaan lalu lintas (KLL) maupun jatuh dari
ketinggian.
Distribusi kasus
cedera kepala terutama melibatkan kelompok usia produktif antara 15 – 44 tahun
dan lebih didominasi oleh kaum laki-laki dibandingkan dengan perempuan dengan angka mortalitas dan morbiditas yang
tinggi hingga mengakibatkan kerugian karena kehilangan sumber daya menusia,
kehilangan pekerjaan dan produktifitas dan menimbulkan beban finansial bagi
penderita dan keluarganya.
Cedera kepala dapat
berupa luka pada kulit kepala, fraktur pada tulang tengkorak, robekan pada
selaput otak, kerusakan pada pembuluh darah baik intra maupun ekstra serebral
dan kerusakan parenkim otak..
Cedera kepala akibat trauma sering kita jumpai di
lapangan. Di Amerika Serikat,
kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000 kasus.
Dari jumlah di atas, 10% penderita meninggal sebelum tiba di rumah sakit dan
lebih dari 100.000 penderita menderita berbagai tingkat kecacatan akibat cedera
kepala tersebut. Di negara berkembang seperti Indonesia, perkembangan ekonomi
dan industri memberikan dampak frekuensi cedera kepala cenderung semakin
meningkat.
BAB II
CEDERA KRANIOSEREBRAL
2.1 DEFINISI
Cedera kranioserebral adalah cedera kepala dimana terjadi
kerusakan kompleks pada kulit kepala, tulang tengkorak, selaput pembungkus otak
dan jaringan otak yang disebabkan oleh kematian fisik dari luar.
2.2 MEKANISME PENYEBAB
Kedua
mekanisme dasar penyebab cedera kepala yaitu kontak bentur (terjadi bila
kepala membentur atau menabrak sesuatu obyek atau sebaliknya) dan guncangan
lanjut yang sering kali dikenal sebagai cedera akselerasi (merupakan
akibat peristiwa guncangan kepala yang hebat, baik yang disebabkan oleh pukulan
maupun yang bukan karena pukulan).
2.2.A Cedera Kontak-Bentur
Umumnya
merupakan akibat dari adanya suatu tenaga benturan yang mengenai kepala, dan
jejas yang terjadi hanya disebabkan oleh fenomena kontak saja dan sama sekali
tidak berkaitan dengan guncangan atau akselerasi kepala.
Suatu
benturan pada kepala dapat mengakibatkan dua macam jejas:
1.
Jejas benturan lokal
Mencakup: fraktur linier dan depresi
tulang tengkorak, hematom epidural, kontusi ‘kup’ (coup contussion) dan beberapa fraktur basis kranii.
- Jejas benturan di tempat lain
Fenomena kontak dapat menimbulkan jejas
bukan di lokasi benturan melalui dua mekanisme: distorsi otak dan gelombang
renjatan (shock waves). Kedua hal inilah yang menyebabnya fraktur
tengkorak di tempat yang jauh dari lokasi benturan, fraktur basis kranii serta
kontusi ‘kontra kup’ dan intermediate coup.
2.2.B Cedera Akselerasi
Guncangan
pada kepala, baik yang disebabkan oleh benturan ataupun bukan, akan menyebabkan
gerakan yang cepat dari kepala, dan cedera yang terjadi tergantung dari
bagaimana gerakan kepala tersebut. Peristiwa ini dikenal dengan sebutan cedera
akselerasi-deselerasi, mengingat akan kepentingan faktor akselerasi yang
merupakan ukuran beban fisik di samping faktor-faktor lain yang tidak kalah
pentingnya seperti kecepatan gerakan kepala.
Gerakan
kepala yang dimanifestasikan sebagai cedera kompresi, regangan dan robekan, mengakibatkan
kerusakan struktural melalui satu dari dua mekanisme. Mekanisme pertama adalah
akibat adanya perbedaan relatif arah gerakan antara otak terhadap fenomena yang
didasari oleh keadaan-keadaan:
•
Otak dapat bergerak bebas dalam batas-batas tertentu di dalam rongga
tengkorak
•
Pada saat mulai gerakan
(sesaat mulainya akselerasi), otak tertinggal di belakang gerakan tengkorak
untuk beberapa waktu yang singkat.
Sehingga
akibatnya otak akan relatif bergeser terhadap tulang dan duramater, kemudian
terjadi cedera pada permukaannya, terutama pada bridging veins.
Mekanisme ini merupakan salah satu penyebab terjadinya hematom subdural.
Selanjutnya pergeseran tadi juga menimbulkan daerah-daerah yang bertekanan
rendah (cedera regangan) yang bila hebat sekali dapat menyebabkan kontusi
kontra-kup.
Mekanisme
cedera akselerasi yang kedua adalah jejas yang terjadi dalam otak yaitu cedera
otak difus (sindrom konkusi dan cedera aksonal difusa), perdarahan jaringan
akibat robekan, dan sebagian besar kontusi intermediate coup. Kerusakan
yang terjadi tergantung dari tipe dan jumlah beban serta durasi akselerasi yang
berlangsung.
2.3 PATOFISIOLOGI
Cedera berarti luka atau jejas. Cedera dapat timbul
akibat gaya mekanik, tetapi bisa juga karena gaya non mekanik. Kepala
dapat dipukul atau ditampar. Tempat langsung yang terkena pukulan dinamakan
dampak atau “impact”. Kepala dapat jatuh pada sesuatu yang keras. Pada kranium,
dapat terjadi indentasi, fraktur linier, fraktur stelatum (bintang), fraktur
impresi ataupun tidak terdapat apa-apa, hanya edema atau perdarahan subkutan
saja. Kerusakan otak (serebral) yang dijumpai pada trauma kepala dapat terjadi
melalui dua cara, yaitu :
- efek langsung trauma pada fungsi otak (kerusakan
primer)
- efek –efek lanjutan dari sel-sel otak yang bereaksi
terhadap trauma(kerusakan sekunder)
Kerusakan
neurologik langsung disebabkan oleh suatu benda atau serpihan tulang yang
menembus dan merobek jaringan otak, oleh pengaruh suatu kekuatan atau energi
yang diteruskan ke otak, dan akhirnya oleh efek percepatan-perlambatan pada
otak, yang terbatas dalam kompartemen yang kaku. Derajat kerusakan yang
disebabkan oleh hal-hal ini tergantung pada kekuatan yang menimpa, makin besar
kekuatan, makin parah kerusakan. Ada 2 macam kekuatan yang dihasilkan melalui
dua jalan yang mengakibatkan dua efek yang berbeda :
Pertama, cedera setempat yang disebabkan oleh benda tajam
dengan kecepatan rendah dan tenaga kecil. Kerusakan fungsi neurologik terjadi
pada tempat yang terbatas pada tempat serangan.
Kedua, cedera menyeluruh, yang lebih lazim dijumpai pada
trauma tumpul kepala dan setelah kecelakaan mobil. Kerusakan terjadi waktu
energi atau kekuatan diteruskan pada otak. Jika kepala bergerak dan berhenti
dengan mendadak dan kasar, seperti pada kecelakaan mobil, kerusakan tidak hanya
disebabkan oleh cedera setempat pada jaringan saja, tetapi juga oleh akselerasi
dan deselerasi. Kekuatan akselerasi dan deselerasi menyebabkan isi dalam
tengkorak yang keras bergerak, dengan demikian memaksa otak membentur permukaan
dalam tengkorak ke arah dampak dan ke arah yang berlawanan dengan benturan.
Lesi kontusio di bawah dampak disebut lesi kontusio “coup”, sedang lesi
di seberang dampak disebut lesi “contrecoup”. Akibat dari akselerasi
ini, batang otak teregang dan menimbulkan blokade reversible pada “difuse
ascending reticular system”, sehingga otk tidak mendapat “input” aferen, yang
berarti kesadaran menurun sampai derajat terendah (pingsan) yang akan disusul
dengan pulihnya kesadaran.
Efek sekunder trauma yang menyebabkan perubahan
neurologik berat, disebabkan oleh reaksi jaringan terhadap cedera. Hal ini
dapat disebabkan oleh edema serebri, perdarahan subarachnoid, hipoksia, iskemia
atau infeksi. Neuron atau sel-sel fungsional dalam otak, bergantung dari menit
ke menit pada suplai nutrien yang konstan dalam bentuk glukosa dan oksigen dan
sangat peka terhadap cedera metabolik apabila suplai terhenti. Sebagai akibat
cedera, sirkulasi otak dapat kehilangan kemampuannya untuk mengatur volume
darah yang beredar, sehingga menyebabkan iskemia pada beberapa daerah tertentu
dalam otak.
Penggeseran otak pada akselerasi dan deselerasi linier
bisa menarik dan memutuskan vena-vena yang menjembatani selaput arachnoidea dan
dura. Karena itu perdarahan subdural akan timbul. Vena-vena tersebut dinamakan
“bridging veins”. Kebanyakan dari pembuluh tersebut berada di daerah sekitar
fisura Sylvii dan pada kedua belah sisi sinus sagitalis superior.
2.4 KLASIFIKASI CEDERA
KEPALA
Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek.
Secara praktis dikenal 3 deskripsi klasifikasi yaitu berdasarkan :
(1).
Mekanisme
(2).
Beratnya.
(3).
Morfologi
2.4.1. Mekanisme Cedera
Kepala
Berdasarkan
mekanismenya cedera kepala dibagi atas cedera kepala tumpul dan cedera kepala
tembus. Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan mobil/motor,
jatuh atau pukulan benda tumpul. Cedera kepala tembus disebabkan oleh peluru
atau tusukan. Adanya penetrasi selaput dura menentukan apakah suatu cedera
termasuk cedera tembus atau cedera tumpul.
2.4.2. Beratnya Cedera
GCS (Glasgow Coma Scale) digunakan untuk menilai secara kuantitatif kelainan
neurologis dan dipakai secara umum dalam deskripsi beratnya penderita cedera
kepala. Nilai GCS juga dipergunakan dalam menilai tingkat kesadaran penderita
akibat berbagai penyebab lain. Perbedaan
antara penderita cedera kepala berat, sedang, ringan cukup jelas apabila
dinilai dengan menggunakan GCS.
Ringan :
GCS 14-15
Sedang : GCS 9-13
Berat : GCS 3-8
Berdasarkan
derajat kesadaran cedera kepala
Kategori
|
SKG
|
Gambaran klinis
|
Ringan
|
13 – 15
|
Pingsan <10 menit, komplikasi / defisit
neurologis (-)
|
Sedang
|
9 – 12
|
Pingsan >10 menit s/d <6 jam,
komplikasi / defisit neurologis (+)
|
Berat
|
3 - 8
|
Pingsan >6 jam, komplikasi /defisit
neurologis (+)
|
Hal penting
dalam penilaian GCS adalah menggunakan nilai respon motorik pada sisi yang
terbaik, namun dicatat respon pada kedua sisinya.
Tabel GCS
Jenis pemeriksaan
|
Nilai
|
Respon buka mata (E)
|
|
Spontan
|
4
|
Terhadap
suara
|
3
|
Terhadap
nyeri
|
2
|
Tidak ada
|
1
|
Respon motorik terbaik (M)
|
|
Ikut perintah
|
6
|
Melokalisir
nyeri
|
5
|
Flexi normal
(menarik anggota yang dirangsang)
|
4
|
Flexi
abnormal (dekortikasi)
|
3
|
Ekstensi
abnormal (deserebrasi)
|
2
|
Tidak ada
|
1
|
Respon verbal (V)
|
|
Berorientasi
baik
|
5
|
Berbicara
mengacau (bingung)
|
4
|
Kata-kata
tidak teratur
|
3
|
Suara tidak
jelas
|
2
|
Tidak ada
|
1
|
4.2.3. Morfologi Cedera
CT-SCAN secara dramatis merubah klasifikasi dari cedera
kepala dan penatalaksaannya Bedasarkan morfologinya Cedera kepala dapat dibagi
atas:
- FRAKTUR
KRANIUM
Dapat terjadi pada atap (kalvarium) dan dasar tengkorak
(basis cranii).
1. Fraktur
batok tengkorak/ kalvarium :
Terdiri dari : Fraktur linier/stelatum;
depresi/nondepresi;
kominutiva;
terbuka/tertutup.
2.
Fraktur
basis tengkorak :
Fraktur longitudinal, transversa dan sirkuler,
dengan/tanpa kebocoran cairan serebrospinal.
Fraktur basis kranii terdiri dari :
- Fraktur
basis kranii anterior
Gejala : Brill Hematoma, Rhinorrhea
- Fraktur
basis kranii media
Gejala : Otorrhea, Battle sign
(ekimosis retroaurikuler)
- Fraktur
basis kranii posterior
Gejala : Brittle sign = combat sign
Fraktur
pada basis Cranii sering menyebabkan paresis nervus VII (fasialis) yang dapat
terjadi segera atau timbul beberapa hari kemudian.
- LESI INTRAKRANIAL
Lesi
ini diklasifikasikan dalam lesi fokal dan lesi difus walupun kedua jenis lesi
ini sering terjadi secara bersamaan. Termasuk dalam lesi fokal yaitu perdarahan
epidural, perdarahan subdural dan kontusio (perdarahan intracerebral). Lesi
difus umumnya menunjukkan gambaran CT-SCAN yang normal namun keadaan klinis
neurologist penderita sangat buruk bahkan penderita dapat berada dalam kodisi
koma. Lesi difus dikelompokkan menurut komosio ringan, komosio klasik dan
cedera Aksonal Difus (Difus Aksonal Injury).
- LESI FOKAL
-Perdarahan Epidural (epidural hematom/EDH)
Hematoma epidural terjadi pecah/robeknya arteri-arteri
meningea yang terletak pada ruang epidural. Arteri-arteri meningea tersebut
terletak antara dumater dan tabula interna dari tulang tengkorak. Paling sering
disebabkan karena robeknya arteri meningea media yang terletak pada lobus
temporalis (fossa media). Tetapi hematoma epidural bisa juga disebabkan karena
robeknya sinus venosus pada regio parietooksipital dan pada fosa posterior. Pada pemeriksaan
CT-scan hematoma epidural berbentuk bikonveks atu menyerupai lensa
cembung. Gejala
klinik pada EDH berupa : (Trias symptom)
- Adanya
“lucid interval” (kesadaran mula-mula baik lalu seiring dengan
bertambahnya volume darah maka kesadaran penderita menurun)
- Hemiplegi
- Pupil
anisokor pada sisi perdarahan
Disamping
itu juga terdapat gejala nyeri kepala hebat, tanda-tanda TIK meningkat dan
adanya ganguan neurologis seperti : penurunan kesadaran, afasia sensorik
motorik, refleks patologis.
Pemeriksaan
:
-Funduskopi
: papil edema
-Lumbal pungsi : LCS jernih, TIK meningkat
-Foto
rontgen kepala
-Angiografi serebral è tampak pergeseran A. Serebri anterior dan daerah
avaskuler (posisi AP) dan pergeseran A. Serebri Media (posisi lateral).
-CT
Scan
-Perdarahan
Subdural (Subdural Hematom/SDH)
Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada
perdarahan epidural. Terjadi pada ruang subdural yaitu ruang yang dibentuk oleh
duramater dan arachnoid akibat dari pecahnya pembuluh pembuluh vena yang
berjalan pada permukaan otak (korteks cerebri) dan sinus venosus (bridging
veins). Namun SDH ini bisa terjadi akibat dari laserasi pada pembuluh arteri
dipermukaan otak. Perdarahan subdural biasanya menutupi seluruh permukaan
hemisfer otak. Adanya
darah di ruang subdural ini diketahui dari pemeriksaan skening otak dengan
gambaran seperti bulan sabit. Dan
prognosisnya lebih berat dibandingkan dengan EDH. Perdarahan subdural dibagi menjadi tiga
kelompok :
- Akut
(24 jam) :
1. Adanya
kerusakan langsung jaringan otak
2. Pasien
langsung pingsan.
3. Gejala
seperti epidural hematom
4. Insiden
kematian tinggi (80%)
- Sub
akut (1-10 hari )
5. Gejala
klinis timbul lambat
- Kronis
( > 10 hari)
6.
Biasanya
oleh karena cedera kepala ringan.
7.
Gejala timbul setelah
beberapa minggu atau bulan, seperti: pusing, sakit kepala, kesadaran menurun, tampak bingung dan
hemiparesis.
Gambaran
CT Scan pada Subdural Hematom
-Kontusio
serebri
- Kontusio
serebri yang terdapat langsung (coup) atau contrecoup dapat terbatas pada
korteks superfisial atau dapat juga disertai perdarahan ke dalam otak yang
berada dibawahnya. Kehilangan kesadaran dalam waktu > 10 menit akibat
otak membentang batang otak terlampau kuat, dan terdapat defisit
neurologis, seperti Refleks babinski, kelumpuhan U.M.N, parese saraf
cranial, sering timbul kejang.
Tekanan darah menjadi rendah dan nadi menjadi lambat, atau menjadi cepat
dan lemah sampai syok. Nafas sukar dan dalam, lebih dalam lagi dan cepat
sampai ngorok, akibat adanya asidosis, waspada akan bahaya kematian. Asidosis menyebabkan kerusakan “blood brain barier”,
dan timbullah edema otak. LCS berdarah dan tekanannya meningkat. Karena
pusat vegetatif ikut terlibat, maka timbul rasa mual, muntah dan gangguan
pernafasan. Penderita dengan kontusio bisa memperlihatkan sindrom
metabolik lain, sebagai manifestasi ikut terkenanya hipotalamus. Kontusio
cerebri dalam waktu beberapa jam atau hari dapat mengalami evolusi
membentuk perdarahan intracerebral (ICH) yang ditandai dengan:
- Perdarahan
kecil-kecil didalam korteks serebral
- Penurunan
kesadaran yang lama
- Kejang
fokal
- Gejala klinis yang sesuai fungsi otak yang terkena
Gambaran
CT Scan Kontusio Cerebri
- lesi difus
-Komosio Cerebri
Ringan
Adalah cedera dimana kesadaran tetap tidak tidak
terganggu namun terjadi disfungsi neurologis yang bersifat sementara dalam
berbagai derajat. Cedera ini sering terjadi namun karena ringan kerap tidak
diperhatikan. Bentuk yang paling ringan adalah keadaan bingung dan disorientasi
tanpa amnesia. Sindrom ini bisa pulih kembali tanpa gejala sisa.
-Komosio Cerebri
Klasik
Adalah cedera yang mengakibatkan menurunnya atau
hilangnya kesadaran. Keadaan ini selalu disertai dengan amnesia pasca trauma
dan lamanya amnesia ini merupakan ukuran beratnya cedera. Hilangnya kesadaran
biasanya berlangsung beberapa waktu lamanya dan bersifat reversible. Dalam
definisi klasik penderita akan kembali sadar dalam waktu 6 jam. Pada beberapa
penderita dapat timbul defisit neurologis untuk beberapa waktu. Defisit
neurologis tersebut bisa beupa kesulitan mengingat, pusing, mual, anosmia dan
depresi. Gejala ini disebut ”sindroma pasca komosio”
-Cedera Aksonal Difus (Diffuse Aksonal
Injury)
Adalah
keadaan dimana penderita mengalami koma pasca cedera yang berlangsung lama dan
tidak diakibatkan oleh suatu lesi masa atau serangan iskemia. Merupakan kelanjutan
kerusakan otak akibat cedera akselerasi dan deselerasi, dan ini merupakan
bentuk yang sering terjadi pada cedera kepala. Biasanya penderita dalam keadaan koma yang dalam dan
tetap koma dalam beberapa waktu. Penderita sering menunjukkan gejala dekortikasi
atau deserebrasi dan bila pulih sering tetap dalam keadaan cacat berat.
Penderita sering menunjukkan gejala disfungsi otonom seperti hipotensi,
hiperhidrosis dan hiperpireksia.
2.5 PEMERIKSAAN KLINIS CEDERA KEPALA
Pemeriksaan
klinis merupakan pemeriksaan yang paling komprehensif dalam evaluasi diagnostik
penderita cedera kepala, yaitu dengan pemeriksaan-pemeriksaan serial yang
cepat, tepat dan noninvasif diharapkan dapat menunjukkan progresivitas atau
kemunduran proses penyakit atau gangguan tersebut.
Pemeriksaan
korban cedera kepala yang kesadarannya baik mencakup pemeriksaan neurologis
yang lengkap, sedangkan pada penderita yang kesadarannya menurun pemeriksaan
yang diutamakan adalah yang dapat memberikan pedoman dalam penanganan di UGD,
yaitu:
•
Tingkat kesadaran
•
Kekuatan fungsi motorik
•
Ukuran pupil dan responsnya terhadap cahaya
•
Gerakan bola mata (refleks okulo-sefalik dan vestibuler)
Tingkat
kesadaran dinilai dengan dua cara, yaitu kualitatif (dengan urutan
komposmentis, apatis, somnolen, delirium, sopor, soporo-koma dan koma) dan
kuantitatif, yaitu dengan skala Glasgow (GCS). Skala ini merupakan gradasi
sederhana dari ’arousal’ dan kapasitas fungsionil korteks serebral berdasarkan
respons verbal, motorik dan mata penderita. Sedangkan fungsionil batang otak
(komponen kesadaran lainnya) dinilai dari respons pupil dan gerakan bola mata.
Penilaian
kesadaran dengan GCS ini punya beberapa keuntungan yaitu (1) untuk diagnosa
pertama kali masuk RS, (2) dapat dipergunakan untuk monitoring kondisi (perburukan/perbaikan)
penderita dan (3) penilaian ini standar dan sangat mudah untuk digunakan baik
oleh tenaga medis maupun paramedis.
Pupil dinilai ukuran serta responsnya
terhadap rangsangan cahaya, yang merupakan pemeriksaan awal terpenting dalam
menangani cedera kepala. Salah satu gejala dini dari herniasi lobus temporal
adalah dilatasi dan perlambatan respons cahaya pupil. Dalam hal ini
adanya kompresi maupun distorsi saraf okulomotorius waktu kejadian herniasi
tentorial-unkus akan mengganggu fungsi akson parasimpatis yang menghantarkan
sinyal eferen untuk konstriksi pupil. Miosis pupil bilateral dapat
muncul pada awal herniasi sefalik sentral akibat kedua jaras simpatis
pupilomotor yang berasal dari hipotalamus terganggu sehingga tonus
parasimpatisnya menjadi lebih dominan dan menimbulkan konstriksi pupil.
Selanjutnya akan terjadi dilatasi pupil dan paralisis respons cahaya. Hippus
adalah suatu fenomena yang terdiri dari dilatasi dan konstriksi pupil spontan
pada pasien-pasien dengan corak respirasi Cheyne Stokes, yang menandakan
integritas fungsional jaras simpatis-parasimpatis pupil (bukan merupakan
indikator gangguan fungsi). Disrupsi lengkung aferen refleks cahaya pupil
dideteksi dengan tes penyinaran indirek dengan asumsi intaknya saraf otak II
(optikus). Dilatasi pupil paradoksal (defek aferen pupil) dikenal dengan
istilah pupil ”Marcus-Gunn”. Pupil yang kecil (bilateral) dapat tampak pada
pasien-pasien yang menggunakan obat-obat seperti opium, morfin dan sebagainya. Miosis
yang timbul pada kasus-kasus dengan lesi pons merupakan akibat inaktivasi
strukturil atau fisiologis jaras simpatis yang turun dari hipotalamus melalui
sistem aktivasi retikuler ke medula spinalis. Pupil Horner unilateral
kadang-kadang tampak pada kasus dengan lesi di batang otak, tetapi pada
kasus-kasus trauma perlu dipikirkan tentang kemungkinan putusnya jaras simpatis
eferen pada daerah apeks paru, leher bagian bawah atau carotid sheath
ipsilateral. Cedera saraf okulomotor traumatika adalah suatu
diagnosis menetapnya dilatasi pupil pada
penderita cedera kepala, walaupun kesadarannya sudah pulih. Pupil yang
midriasis (≥6 mm) kadang dapat terjadi akibat trauma langsung pada mata,
biasanya unilateral dan tidak disertai paresis okuler. Pupil yang dilatasi
bilateral dan fixed pada penderita cedera kepala merupakan akibat dari
perfusi serebral yang tidak adekuat seperti hipotensi akibat kehilangan darah,
atau gangguan aliran darah serebral karena peningkatan TIK.
Fungsi
motorik biasanya hanya merupakan pelengkap saja mengingat kadang sulit
mendapat penilaian akurat dari penderita-penderita dengan kesadaran yang
menurun. Masing-masing ekstremitas digradasi kekuatannya dengan skala sebagai
berikut:
Skor
|
Kontraksi otot
|
Gerakan sendi
|
Melawan gaya gravitasi
|
Jenis tahanan yang dapat dilawan
|
5
|
(+)
|
(+)
|
(+)
|
Penuh
|
4
|
(+)
|
(+)
|
(+)
|
Ringan
|
3
|
(+)
|
(+)
|
(+)
|
(-)
|
2
|
(+)
|
(+)
|
(-)
|
(-)
|
1
|
(+)
|
(-)
|
(-)
|
(-)
|
0
|
(-)
|
(-)
|
(-)
|
(-)
|
Gerakan
bola mata
merupakan indeks penting untuk penilaian aktivitas fungsional batang otak
(formasio retikularis). Penderita yang sadar penuh dan mempunyai gerakan bola
mata yang baik menandakan intaknya sistem motorik okuler di batang otak. Pada
keadaan kesadaran yang menurun, gerakan bola mata volunter menghilang, sehingga
untuk menilai gerakannya ditentukan dari refleks okulosefalik dan
okulovestibuler.
2.6.DIAGNOSIS
Foto polos tengkorak
Foto polos tengkorak
Pemeriksaan ini bertujuan untuk
mengevaluasi penderita cedera kepala. Akhir-akhir ini menjadi kontroversial,
mengingat bahwa hanya sedikit informasi yang didapat yang dapat mengubah
alternatif pengobatan yang diberikan. Namun di sisi lain tampaknya keterbatasan
fasilitas mengarahkan pemeriksaan ini sebagai suatu penunjang rutin pada
kasus-kasus cedera kepala ringan. Dengan proyeksi rutin A-P dan lateral,
diharapkan dapat diperoleh informasi tentang lokasi dan tipe fraktur dan kadang
juga terlihat pergeseran kelenjar pineal.
Angiografi
serebral
Pemeriksaan ini merupakan prosedur
invasif dan cenderung lebih bermanfaat untuk memperkirakan diagnosis adanya
hematom intrakranial beserta penanganan, khususnya jika belum tersedia sarana
CT Scan otak. Prinsipnya adalah menunjukkan adanya pergeseran pembuluh-pembuluh
darah serebral besar dan lokasi hematom. Massa supratentorial biasanya
menampilkan pergeseran a.serebri anterior dan v.serebri interna. Walaupun
pergeseran ini tidak dapat membedakan edema atau hematom, namun dapat membantu
menentukan lokasinya.
CT
Scan otak
Pemeriksaan ini merupakan metode
diagnostik standar terpilh bagi kasus-kasus cedera kepala mengingat tidak
invasif dan menampilkan secara jelas lokasi dan adanya perdarahan intrakranial,
edema, kontusi, udara, benda asing intrakranial serta pergeseran struktur
tengkorak.
Edema
tampak sebagai zona hipodens dibandingkan massa putih otak. Kadang dijumpai
adanya efek massa terhadap ventrikel yang berdekatan dan direfleksikan sebagai
kompresi, distorsi atau pergeseran sistem ventrikel. Edema ini dapat berupa
edema fokal, multifokal atau difus.
Kontusi
serebri
tampak sebagai area hiperdens nonhomogen bercampur dengan hipodens. Batasnya
biasanya tidak tegas dan bila ada efek massa biasanya minimal.
Hematom
epidural
mempunyai ciri gambaran khas berupa bentuk bikonveks atau lentikular (ada
perlekatan erat antara dura dengan tabula interna tulang sehingga hematom ini
menjadi terbatas).
Hematom
subdural
cenderung lebih difus dibandingkan hematom epidural dan tampil dalam batas
konkav sesuai dengan permukaan otak.
Hematom
intraserebral traumatika biasanya berlokasi di frontal dan lobus temporal anterior
(dapat juga terjadi di lokasi lain). Kebanyakan hematom berkembang segera
setelah cedera, tetapi ada juga yang baru timbul kemudian (sampai 1 minggu).
Tampil sebagai lesi hiperdens dikelilingi oleh zona hipodens (edema).
Perdarahan
intraventrikular
sering kali dikaitkan dengan perdarahan parenkimal. Perderahan ini relatif
cepat menjadi isodens dan kemudian menghilang dalam 1 minggu.
Hidrosefalus
obstruktif
dapat terjadi akibat hematom fosa posterior yang menimbulkan obstruksi saluran
ventrikel.
Infark
iskhemik tampak sebagai daerah hipodens dan biasanya terdeteksi dalam 24
jam pertama setelah onzet.
2.7 PENATALAKSANAAN
Tujuan
utama pelaksanaan cedera kranioserebral ialah untuk menghilangkan, mencegah
atau meminimalkan kerusakan otak karena proses sekunder.
Pedoman resusitasi dan penilaian awal
1. Menilai
jalan nafas ( A= Airway )
2. Menilai
pernapasan ( B= Breathing )
3. Menilai
sirkulasi ( C= Circulation )
4. Obati
kejang, mula-mula berikan diazepam 10 mg IV perlahan-lahan dan dapat diulangi
sampai 3 kali bila masih kejang. Bila tidak berhasil dapat diberikan fenitoin
15 mg/kgBB IV perlahan-lahan dengan kecepatan tidak melebihi 50 mg/menit.
5. Menilai
tingkat keparahan :
a.Cedera kepala ringan
(kelompok resiko rendah)
- GCS 14-15 (sadar penuh, atentif dan
orientatif)
- Tidak ada kehilangan kesadaran
- Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan
pusing
- Pasien dapat menderita abrasi, laserasi
atau hematoma kulit kepala
b.Cedera kepala sedang
- GCS 9-13 (konfusi, letargi atau stupor)
- Adanya penurunan kesadaran (konkusi)
- Amnesia pasca trauma
- Muntah
- Tanda kemungkinan fraktur kranium (Battle
sign, mata rabun, hemotimpanum, otore
atau rinore)
- Kejang
c. Cedera kepala berat
(kelompok resiko berat)
- GCS 3-8 (koma)
- Penurunan derajat kesadaran secara progresif
- Tanda neurologis fokal
- Cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur
depresi kranium
Pedoman penatalaksanaan
- Pada semua pasien cedera kepala dan
atau leher, lakukan foto tulang belakang servikal (AP, lateral), colar
servikal baru dilepas setelah dipastikan bahwa seluruh tulang servikal
C1-C7 normal.
- Pada semua pasien CKS dan CKB, lakukan
prosedur berikut :
a. Pasang
jalur intravena dengan larutan NaCl 0,9% atau RL
b. Lakukan
pemeriksaan : Ht, darah perifer lengkap, trombosit,kimia darah: glukosa, ureum
dan kreatinin, masa protrombin atau tromboplastin parsial dan skrining
toksikologi dan kadar alcohol bila perlu.
- Lakukan CT Scan dengan jendela
tulang, CT Scan lebih sensitive untuk mendeteksi fraktur. Pasien dengan
CKR, CKS, CKB, harus dievaluasi
adanya: Hematoma epidural, darah dalam subarachnoid dan intraventrikel,
kontusio dan perdarahan jaringan otak, edema serebri, obliterasi system
perimesensefalik, pergeseran garis tengah dan fraktur kranium, cairan
dalam sinus dan pneumosefalus.
- Pada pasien yang koma (GCS<8)
atau pasien dengan tanda-tanda herniasi, lakukan tindakan berikut:
a.
Elevasi kepala 30°
b.
Hiperventilasi, dengan
kecepatan 16-20 kali/menit
c.
Berikan manitol 20%
1g/kg IV dalam 20-30 menit. Dosis ulangan dapat diberikan 4-6 jam kemudian
yaitu sebesar ¼ dosis semula setiap 6 jam sampai maksimal 48 jam pertama.
d.
Pasang kateter Foley
e.
Konsul bedah saraf bila
terdapat indikasi operasi (hematoma yang besar, hematoma subdural, cedera
kepala terbuka dan fraktur impresi >1 diploe).
Penatalaksanaan khusus
- Cedera kepala ringan (GCS: 14-15)
Lakukan
pemeriksaan fisik umum, perawatan luka, buat foto kepala, istirahat baring
dengan mobilisasi bertahap sesuai dengan kondisi pasien, disertai terapi
simptomatis. Observasi minimal 24 jam di rumah sakit untuk menilai kemungkinan
adanya hematoma intrakranial misalnya ada riwayat lucid interval, sakit kepala,
muntah-muntah, kesadaran menurun, gejala-gejala lateralisasi (pupil anisokor,
refleks patologis positif), jika diperlukan buat CT Scan. Penderita tidak perlu dirawat jika :
- Orientasi (waktu dan tempat) baik.
- Tidak ada gejala fokalneurologik
- Tidak ada muntah atau sakit kepala
- Tidak ada fraktur tulang kepala
- Ada yang bisa mengawasi dengan baik
dirumah selama 24 jam pertama.
- Tempat tinggal dalam kota
- Cedera kepala sedang (GCS : 9-13)
Pasien
dalam keadaan ini mungkin mengalami gangguan kardiopulmonal, jika ada gangguan
tersebut :
- Segera lakukan penilaian ABC yaitu,
bersihkan jalan nafas, perbaiki pernafasan, dan sirkulasi, tindakan
resusitasi jantung paru jika diperlukan.
- Periksa kesadaran, pupil, gangguan
fokal neurologis, cedera organ lain, jika ada jejas di leher pasang
fiksasi leher.
- Foto kepala, bila perlu foto organ
tubuh lain yang mencurigakan.
- CT Scan jika
diduga adanya hematoma intrakranial.
- Observasi fungsi vital, kesadaran,
pupil dan defisit neurologis.
- Cedera kepala berat (GCS : 3-8)
Pasien
cedera kepala berat biasanya disertai oleh cedera multiple, disamping kelainan
serebral ditemukan juga kelainan sistemik yang menggunakan sistem
kardiopulmoner.
Sehingga
tindakan pertama yang perlu dilakukan ialah menilai ABC. Setelah penilaian awal
dan stabilisasi tanda vital, keputusan segera pada pasien ini apakah terdapat
indikasi intervensi bedah saraf segera (hematoma intrakranial yang besar).
- Setelah keadaan ABC dilaksanakan
lakukan pemeriksaan fisik dan neurologis ulang (tanda-tanda vital, tingkat
kesadaran, reaksi pupil, defisit fokal serebral, dll), catatan ini
merupakan titik awal untuk follow up selanjutnya, yang dilakukan dengan
cermat dan awasi hal-hal tersebut dalam waktu-waktu tertentu. Jika tidak
ada bukti peningkatan TIK, parameter ventilasi harus diatur sampai pCO2
40 mmHg dan pO2 90-100 mmHg.
- Monitor tekanan darah, karena
autoregulasi sering terganggu pada cedera kepala akut, maka tekanan arteri
rata-rata harus dipertahankan untuk menghindari hipotensi atau hipertensi.
Hipotensi (<70 mmHg)dapat menyebabkan iskemia otak, sedangkan
hipertensi (>130 mmHg) dapat meneksaserbasi serebri.
- Penatalaksanaan tekanan intra
kranial (TIK) meninggi,dilakukan sejak awal yaitu :
- Menjaga suhu tubuh tetap normal (
< 37,50). Dapat diberikan kombinasi acetaminophen, selimut
dingin, dan lavage air es.
- Tinggikan kepala 300,
aksis tubuh netral.
- Hiperventilasi ringan pertahankan
Pa CO2 28-32 mmHg.
- Keseimbangan cairan dan elektrolit
dengan cairan isotonis.
- Jaga CPP > 70 mmHg.
- Profilaktik antikonvulsan, minimal
sampai minggu pertama setelah cedera kepala, misalnya pada cedera kepala
dengan resiko kejang tinggi, seperti impresi fraktur, hematoma
intrakranial, diberikan phenitoin dengan dosis 15-20 mg/Kg BB bolus iv,
pelan-pelan 50 mg/menit. Dilanjutkan 200-500 mg per hari iv atau per oral.
Jika
usaha-usaha tersebut diatas belum berhasil, lakukan terapi primer, yaitu :
- Drainase cairan serebrospinal.
- Tetapi sedativa (narkotika,
benzodiazepine).
- Terapi blokade neuromuskular.
Lakukan
terapi sekunder jika usaha terapi primer belum berhasil yaitu :
- Bolus mannitol, berikan 0,25
g/kg.BB, pemberian mannitol per hari maksimal 200 gram, dan serum
osmolaritas £
310 mOsm/Kg, jika ada gagal ginjal dosis diberikan lebih rendah.
- Naikkan CPP.
Lakukan terapi tersier,
jika usaha terapi sekunder tidak berhasil yaitu : terapi supresiv metabolik
dengan pemberian barbiturat dosis tinggi atau propofol.
Cara pemberian barbiturat
(fenobarbital) : bolus 10 mg/Kg BB iv selama 30 menit, dilanjutkan 3 jam, lalu pertahankan pada kadar 3-4 mg%,
dengan dosis sekitar 1 mg/KgBB/jam.
Setelah TIK terkontrol < 20 mmHg selama 24-48 jam, dosis diturunkan bertahap selama 3 hari.
- Cairan dan elektrolit.
Terapi cairan pada saat awal cedera
kepala dibatasi untuk mencegah bertambahnya edema
serebri, kecuali jika ada tanda-tanda shok hemorgik. Jumlah cairan diberikan 1500-2000 ml/hari berikan cairan yang
mengandung glukosa oleh karena hiperglikemi
dapat menambah edema serebri. Keseimbangan cairan tercapai jika tekanan darah stabil normal, denyut jantung
normal dan volume urine normal ³
30 ml/jam.
Pemberian cairan harus disesuaikan
pada keadaan tertentu misalnya pada pemberian diuretik,
diabetes insipidus, SIADH, perlu di pantau kadar elektrolit, gula darah, ureum, kreatinin dan osmolalitas darah.
- Nutrisi
Kebutuhan energi pada cedera kepala
meningkat rata-rata 40%, protein diberikan 1,5- 2
g/KgBB/hari, lipid 10-40% dari kebutuhan kalori/hari, zice 12 mg/hari, kadar
gula darah dipertahankan <
200 mg/hari. Zice diperlukan untuk proses penyembuhan luka, sintesis protein, mempertahankan endotel
vaskuler dan status imunitas, juga sangat vital
untuk fungsi normal otak pemberian nutrisi peroral mulai diberikan pada hari ke
2 dengan memasang pipa nasogastrik
sebanyak 2000-3000 kalori.
- Neuroproteksi
Adanya
selang waktu antara terjadinya trauma dengan timbulnya kerusakan jaringan.
Dapat diberikan neuroprotektan misalnya sitikolin dengan dosis 1-1,5 g/hari iv.
- Profilaksis ulkus peptikum akibat
stress ulcer, dengan ranitidine 50 mg IV setiap 8 jam atau yang lain.
- Antibiotik
- Profilaksis trombosis vena dalam,
dengan heparin 5000 unit subkutan setiap 12 jam dapat diberikan 72 jam
setelah cedera.
- CT Scan lanjutan untuk menilai
perdarahan yang progresif atau yang timbul belakangan. Namun biaya menjadi
kendala.
2.8 KOMPLIKASI
- Infeksi
: profilaksis antibiotika diberikan bila ada fraktur terbuka, fraktur
basis kranii, luka luar yang memberikan resiko tinggi untuk terjadinya
infeksi.
- Kebocoran
LCS, terjadi pada 2-6% pasien dengan cedera kepala tertutup.kebocoran ini
berhenti spontan dengan elevasi kepala setelah beberapa hari pada 85%
pasien. Otore atau rinore yang menetap atau meningitis berulang merupakan
indikasi untuk operasi reparative.
- Kejang
: dapat timbul segera (dalam 24 jam pertama), early epilepsy (minggu
pertama) atau late epilepsy
(setelah satu minggu). Lebih sering timbul pada anak-anak pada orang
dewasa jarang terjadi kecuali jika ada fraktur impresi, atau hematoma
intrakranial. Kejang dini menunjukkan resiko yang meningkat untuk kejang
lanjut, dan pasien ini harus dipertahankan dengan antikonvulsan. Insiden
keseluruhan epilepsy pascatrauma lanjut (berulang, tanpa provokasi)
setelah cedera kepala tertutup adalah 5%, resiko mendekati 20% pada
penderita perdarahan intraserebral atau impresi fraktur.
Pengobatan :
Kejang pertama : fenitoin 200 mg oral, dilanjutkan 3-4 x 100 mg per hari. Status epileptikus : diazepam 10 mg iv dapat diulang
dalam 15 menit. Bila cenderung berulang 50-100 mg/500 ml NaCl 0,9%. Jika tidak
berhasil ganti obat lain yaitu fenitoin dengan dosis 18 mg/KgBB iv pelan-pelan
paling cepat 50 mg/menit. Dilanjutkan dengan
200-500 mg/hari iv atau oral
- Perdarahan lambung : insiden 10-14% berikan terapi
antasida atau bersama dengan H2 reseptor bloker.
- Diabetes insipidus : karena rusaknya kelenjar
hipofise sehingga tidak terjadi sekresi hormon antidiuretik timbul
poliuria, hipernatremi, dehidrasi. Terapi pitressin (arginine vasopressin) 5-10 u
iv/im/se tiap 4-6 jam atau desmopressin aseta (DDAVP) se atau iv 2-4 mg tiap 12 jam. Ini
diberikan untuk menjaga volume urine < 200 ml/jam. Beri cairan
hipotonik 0,25% atau 0,45% NaCl tergantung beratnya hipernatremia.
2.9 PROGNOSIS
Prognosis setelah
cedera kepala berhubungan dengan berat dan letak cedera kepala. Skor GCS 3-4
memiliki kemungkinan meninggal 85% atau tetap dalam kondisi vegetatif,
sedangkan pasien dengan GCS 12 atau lebih kemungkinan meninggal atau vegetatif
hanya 5-10%.Pada komusio biasanya kesembuhan terjadi dengan cepat. Pada
laserasi otak angka kematiannya rata-rata 40-50%. Sindrom pascakonkusi,
perubahan kepribadian yang berkembang pada banyak pasien setelah cedera kepala.
Seringkali
bertumpang tindih dengan gejala depresi.